Setiap manusia
dilahirkan untuk berbahagia. Tidak peduli apapun agama, suku, ras, dan golongan,
semua manusia berhak untuk berbahagia. Tidak ada defenisi yang tepat untuk
menggambarkan apa kebahagiaan itu seutuhnya. Wajar, karena kebahagiaan bukan
untuk didefinisikan tetapi untuk dirasakan, dikembangkan, dan dipancarkan
melalui kehadiran diri kita di lingkungan manapun kita berada.
Hal yang
terpenting untuk diketahui, kebahagiaan kita bukan merupakan tanggung jawab
orang lain. Kontrol terhadap diri kitalah yang memampukan kita untuk
berbahagia. Seringkali ketika kita lepas kendali atas emosi-emosi negatif dari
dalam diri, misalkan saja marah, benci, dendam, dan tersinggung, pada saat itu
kita merasa telah berhasil melukai orang yang kita tuju sebagai sasaran emosi
kita, padahal pada kenyataannya, saat itu kita sedang memasukkan racun ke dalam
tubuh kita sendiri. Racun itulah yang menggerogoti kebahagiaan yang seharusnya
ada di dalam kehidupan kita. Salah satu faktor pemicu berkobarnya emosi-emosi
negatif itu adalah karena kita ingin menyelaraskan kehidupan, tindakan, dan
sikap orang lain dengan visualisasi yang kita ciptakan di benak dan kita
harapkan menjadi realita. Di situlah kesalahannya, kita tidak punya kuasa untuk
mengontrol orang lain, yang perlu kita kendalikan hanya diri sendiri. Orang
lain dan segala tindak-tanduk mereka harus kita serahkan kepada Tuhan sambil
tetap meminta Roh Kudus tetap memimpin kita untuk dapat mengontrol diri
sendiri.
Adalah tidak
mungkin bagi kita untuk mengendalikan hidup orang lain. Berusaha mengekang dan
mengontrol setiap keputusan dan tindakan yang dilakukan orang lain, sama saja
menyiksa diri sendiri tanpa pernah mendapatkan apa yang kita inginkan. Saya
teringat akan hari-hari saya sebelum hari di mana saya menyadari bahwa buah
dari Roh Kudus bukanlah kendali atas orang lain melainkan kendali atas diri
sendiri. Pada masa transisi setelah saya wisuda dan akan aktif bekerja di
sebuah instansi yang mengharuskan saya untuk menunggu Surat Keputusan cukup
lama, saya tinggal bersama orang tua dan adik bungsu saya yang masih ada di
sana karena dia bersekolah di dekat rumah. Perlakuan seorang remaja yang kita
ketahui dan yang pernah kita alami memang cukup labil karena disitulah masa
pencarian jati diri. Hal itu juga dialami oleh adik bungsu saya Niko. Dia
berubah menjadi anak yang suka melawan padahal sebelumnya dia cukup baik, dan itulah
yang memacu emosi saya setiap hari dan memaksa saya untuk semakin turut campur
dalam pengendalian hidupnya. Bukan bimbingan yang saya berikan tapi kontrol
penuh atas apa yang dilakukannya. Malangnya, dia semakin berontak, dan saya
setiap hari emosi bukan hanya pada saat saya berhadapan dengannya tetapi juga
berdampak pada keseluruhan kehidupan saya, saya tahu itu sangat menguras
keimanan dan hidup kerohanian saya. Jadi, apa yang saya dapat dari hasil
mengontrol hidup orang lain? Tidak ada, bahkan saya menjadi miskin karenanya.
Untuk mencapai
kebahagiaan sejati, kita harus mampu melepaskan semua sekat-sekat kehidupan,
termasuk melepaskan diri dari sekat ego kita sendiri. Mampu mencintai dan
menghargai diri sendiri, mampu mencintai orang lain dan menerima orang lain apa
adanya, jangan memaksakannya sesuai dengan standard yang diinginkan dunia. Dan
di atas segala sesuatunya, tetaplah bersyukur karena syukur akan memberikan
kelimpahan kebahagiaan.
Orang yang
paling bahagia adalah orang yang tidak merasa selalu membutuhkan semua hal
terbaik, mereka hanya berpikir bagaimana mencipta semua hal menjadi terbaik
bagi mereka, yang berlalu dalam hidupnya. Itulah nilai syukur dan itulah kunci
kebahagiaan.
0 komentar:
Posting Komentar