Kunci Kebahagiaan

Jumat, 20 April 2012


Setiap manusia dilahirkan untuk berbahagia. Tidak peduli apapun agama, suku, ras, dan golongan, semua manusia berhak untuk berbahagia. Tidak ada defenisi yang tepat untuk menggambarkan apa kebahagiaan itu seutuhnya. Wajar, karena kebahagiaan bukan untuk didefinisikan tetapi untuk dirasakan, dikembangkan, dan dipancarkan melalui kehadiran diri kita di lingkungan manapun kita berada.

Hal yang terpenting untuk diketahui, kebahagiaan kita bukan merupakan tanggung jawab orang lain. Kontrol terhadap diri kitalah yang memampukan kita untuk berbahagia. Seringkali ketika kita lepas kendali atas emosi-emosi negatif dari dalam diri, misalkan saja marah, benci, dendam, dan tersinggung, pada saat itu kita merasa telah berhasil melukai orang yang kita tuju sebagai sasaran emosi kita, padahal pada kenyataannya, saat itu kita sedang memasukkan racun ke dalam tubuh kita sendiri. Racun itulah yang menggerogoti kebahagiaan yang seharusnya ada di dalam kehidupan kita. Salah satu faktor pemicu berkobarnya emosi-emosi negatif itu adalah karena kita ingin menyelaraskan kehidupan, tindakan, dan sikap orang lain dengan visualisasi yang kita ciptakan di benak dan kita harapkan menjadi realita. Di situlah kesalahannya, kita tidak punya kuasa untuk mengontrol orang lain, yang perlu kita kendalikan hanya diri sendiri. Orang lain dan segala tindak-tanduk mereka harus kita serahkan kepada Tuhan sambil tetap meminta Roh Kudus tetap memimpin kita untuk dapat mengontrol diri sendiri.

Adalah tidak mungkin bagi kita untuk mengendalikan hidup orang lain. Berusaha mengekang dan mengontrol setiap keputusan dan tindakan yang dilakukan orang lain, sama saja menyiksa diri sendiri tanpa pernah mendapatkan apa yang kita inginkan. Saya teringat akan hari-hari saya sebelum hari di mana saya menyadari bahwa buah dari Roh Kudus bukanlah kendali atas orang lain melainkan kendali atas diri sendiri. Pada masa transisi setelah saya wisuda dan akan aktif bekerja di sebuah instansi yang mengharuskan saya untuk menunggu Surat Keputusan cukup lama, saya tinggal bersama orang tua dan adik bungsu saya yang masih ada di sana karena dia bersekolah di dekat rumah. Perlakuan seorang remaja yang kita ketahui dan yang pernah kita alami memang cukup labil karena disitulah masa pencarian jati diri. Hal itu juga dialami oleh adik bungsu saya Niko. Dia berubah menjadi anak yang suka melawan padahal sebelumnya dia cukup baik, dan itulah yang memacu emosi saya setiap hari dan memaksa saya untuk semakin turut campur dalam pengendalian hidupnya. Bukan bimbingan yang saya berikan tapi kontrol penuh atas apa yang dilakukannya. Malangnya, dia semakin berontak, dan saya setiap hari emosi bukan hanya pada saat saya berhadapan dengannya tetapi juga berdampak pada keseluruhan kehidupan saya, saya tahu itu sangat menguras keimanan dan hidup kerohanian saya. Jadi, apa yang saya dapat dari hasil mengontrol hidup orang lain? Tidak ada, bahkan saya menjadi miskin karenanya.

Untuk mencapai kebahagiaan sejati, kita harus mampu melepaskan semua sekat-sekat kehidupan, termasuk melepaskan diri dari sekat ego kita sendiri. Mampu mencintai dan menghargai diri sendiri, mampu mencintai orang lain dan menerima orang lain apa adanya, jangan memaksakannya sesuai dengan standard yang diinginkan dunia. Dan di atas segala sesuatunya, tetaplah bersyukur karena syukur akan memberikan kelimpahan kebahagiaan.

Orang yang paling bahagia adalah orang yang tidak merasa selalu membutuhkan semua hal terbaik, mereka hanya berpikir bagaimana mencipta semua hal menjadi terbaik bagi mereka, yang berlalu dalam hidupnya. Itulah nilai syukur dan itulah kunci kebahagiaan.

0 komentar:

Posting Komentar